Selasa, 05 Januari 2010

Menggali Potensi Tempe sebagai Penurun Tekanan Darah

Prof Dr Ir Made Astawan MS

PERUBAHAN pola makan yang menjurus ke konsumsi makanan siap santap yang mengandung lemak, protein, dan garam tinggi namun rendah serat, memicu berkembangnya penyakit degeneratif seperti jantung, diabetes mellitus, aneka kanker, osteoporosis, dan hipertensi (tekanan darah tinggi).

Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga 1995 menunjukkan prevalensi hipertensi di Indonesia cukup tinggi, 83 per 1.000 anggota rumah tangga, dimana umumnya perempuan lebih banyak menderita hipertensi dibanding pria dan prevalensi di daerah luar Jawa-Bali lebih besar dibanding Jawa-Bali. Hal tersebut terkait erat dengan pola makan, dimana konsumsi garam umumnya tinggi di luar Jawa dan Bali .

Makanan asli Indonesia seperti tempe , telah terbukti dapat mencegah masalah gizi ganda (akibat kekurangan dan kelebihan gizi) beserta berbagai penyakit yang menyertainya, baik penyakit infeksi maupun penyakit degeneratif.

Penelitian mengenai kadar gizi tempe serta potensinya sebagai antibakteri, antioksidan, antidiare dan penurun kolesterol, relatif sudah banyak dilakukan. Namun, kaitannya dengan tekanan darah belum banyak terungkap. Beberapa literatur menyatakan, tempe dapat mencegah hipertensi, tetapi penyebab dan mekanisme reaksi belum diketahui. Tempe dikonsumsi dalam tiga bentuk utama yaitu generasi I, II dan III. Pada generasi I tempe dikonsumsi secara tradisional dalam bentuk keripik, bacem, atau sambal goreng tempe . Tempe generasi II berbentuk tepung yang dapat digunakan sebagai ingredien pangan untuk meningkatkan kadar gizi dan serat, pengawet alami, dan menanggulangi diare pada anak-anak.

Pada generasi III tempe diolah sebagai konsentrat protein, isolat protein, peptida, serta komponen bioaktif lainnya. Di masa depan, hasil olahan tempe generasi III tampaknya akan berprospek sangat cerah untuk kebutuhan medik maupun gizi.

Akhir-akhir ini banyak peneliti (terutama Jepang) berminat pada cara pencegahan hipertensi dengan memanfaatkan komponen aktif dalam bahan pangan. Salah satu komponen aktif yang mendapat perhatian utama adalah peptida hasil penguraian protein oleh enzim protease.

Beberapa peptida penurun tekanan darah telah berhasil diisolasi dari berbagai bahan pangan sumber protein, seperti kasein, kedelai, jagung, kecap, ikan, dan lain-lain. Walaupun aktivitas peptida-peptida tersebut masih lebih rendah dari obat penurun tekanan darah komersial (seperti captopril dan enalapril), penemuan tersebut telah memberi arti yang sangat penting dari segi medis, terutama karena bersumber dari bahan alami yang aman untuk dikonsumsi.

Hipertensi

Penyakit hipertensi sering disebut the silent disease karena seseorang umumnya tidak mengetahui dirinya menderita hipertensi, sebelum memeriksakan tekanan darahnya. Penyakit ini dikenal juga sebagai heterogenous group of disease, karena dapat menyerang siapa saja dari berbagai kelompok umur dan kelompok sosial-ekonomi.

Hipertensi dapat dikelompokkan dalam dua kategori besar, yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi primer belum diketahui penyebabnya dengan jelas. Berbagai faktor diduga turut berperan sebagai penyebab hipertensi primer, seperti bertambahnya umur, stres psikologis, dan hereditas (keturunan). Sekitar 90% pasien hipertensi diperkirakan termasuk dalam kategori ini.

Golongan kedua adalah hipertensi sekunder yang penyebabnya telah pasti, misalnya ginjal yang tidak berfungsi, pemakaian oral kontrasepsi, dan terganggunya keseimbangan hormon.

Faktor pemicu hipertensi dapat dibedakan atas faktor yang tidak dapat dikontrol (seperti keturunan, jenis kelamin dan umur) dan faktor yang dapat dikontrol (seperti kegemukan, kurang olahraga, merokok, konsumsi alkohol dan konsumsi garam). Dengan demikian, sesungguhnya hipertensi dapat dicegah dengan pengaturan pola makan dan aktivitas fisik yang cukup.

Secara umum, seseorang dikatakan menderita hipertensi jika tekanan darah sistolik/diastoliknya melebihi 140/90 mmHg (normalnya adalah 120/80 mmHg). Tekanan darah sistolik adalah tekanan darah pada saat jantung memompa darah ke dalam pembuluh nadi (saat jantung mengkerut). Tekanan darah diastolik adalah tekanan darah pada saat jantung mengembang dan menyedot darah kembali (pembuluh nadi mengempis kosong).

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah (lihat Gambar). Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi hati, yang oleh hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I (dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida yang sangat aktif). Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.

Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis) sehingga urin menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkan, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga meningkatkan tekanan darah.

Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.

Khasiat tempe

Apresiasi masyarakat terhadap tempe perlu ditingkatkan dengan penyuluhan kandungan gizi dan khasiat medisnya. Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan semakin dikenalnya khasiat dan keunggulan tempe, meningkatkan peluang konsumsi tempe di masa mendatang.

Hasil penelitian kami (Astawan et al, 1998) yang didanai oleh proyek Riset Unggulan Terpadu (RUT) dari Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi menunjukkan, hidrolisat tempe berpotensi menurunkan tekanan darah pada tikus percobaan yang mengalami hipertensi. Perlakuan utama pada penelitian itu adalah pengaruh jenis inokulum dan lama waktu fermentasi kedelai terhadap aktivitas penurunan tekanan darah tempe yang diuji dengan tikus jenis SHR (spontaneously hypertensive rats).

Terdapat tiga jenis kultur dalam pembuatan tempe, yaitu kultur campuran, kultur murni, dan kultur murni campuran. Pada kultur campuran (yang sering dikenal sebagai laru pasar), selain mengandung kapang juga mengandung bakteri dan khamir. Kultur murni hanya mengandung satu jenis mikroorganisme, misalnya Rhizopus oligosporus. Campuran dua atau tiga kultur murni adalah kultur murni campuran.

Enzim protease yang dihasilkan oleh kapang selama proses fermentasi kedelai menjadi tempe akan menguraikan protein (polipeptida) menjadi peptida-peptida yang lebih pendek dan asam amino bebas. Beberapa dari peptida yang dihasilkan tersebut (terutama yang terdiri dari 5-10 asam amino) dapat berperan sebagai penurun tekanan darah, melalui suatu aksi penghambatan terhadap kerja angiotensin I converting enzyme (ACE).

Dengan adanya peptida yang bersifat sebagai penghambat ACE (ACE inhibitor), maka kerja ACE dalam mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II akan terganggu sehingga tekanan darah dapat diturunkan (lihat Gambar).

Dari hasil penelitian kami, diketahui bahwa kultur campuran (laru pasar) menghasilkan tempe dengan potensi hipotensif (penurun tekanan darah) lebih besar dibandingkan kultur murni Rhizopus oligosporus NRRL 2710. Dengan demikian tempe yang dibuat secara tradisional oleh para pengrajin tempe Indonesia bersifat lebih menguntungkan dibandingkan tempe yang dibuat di luar negeri yang umumnya menggunakan kultur murni.

Dari penelitian kami diketahui bahwa waktu fermentasi kedelai terbaik untuk menjadi tempe dengan khasiat penurun tekanan darah yang terbaik adalah 36 jam. Fermentasi yang melebihi 36 jam, menyebabkan enzim protease tidak hanya menghidrolisis protein menjadi peptida, tetapi juga menjadi asam amino bebas dan amonia yang tidak memiliki aktivitas sebagai ACE inhibitor.

Dampak pemberian ransum yang mengandung tepung tempe (43 persen dari total ransum) dibandingkan dengan kontrol (kasein) selama 21 hari percobaan terhadap tikus hipertensi menunjukkan bahwa pemberian ransum tempe mampu menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 46 poin (24 persen penurunan) dan tekanan darah diastolik sebesar 37 poin (23 persen penurunan).

Tempe tiap hari

Walaupun penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tikus hipertensi, namun hasilnya dapat diekstrapolasikan ke manusia. Artinya hal yang sama juga dapat terjadi pada manusia, tetapi tentu saja dengan dosis dan lama waktu yang berbeda. Informasi dari penelitian ini hanyalah merupakan informasi awal bahwa tempe memiliki aktivitas hipotensif bagi penderita hipertensi.

Cara terbaik untuk mengoptimalkan khasiat tempe bagi tubuh kita, adalah dengan mengonsumsinya setiap hari dalam jumlah yang cukup berarti. Variasi penggunaan tempe dalam berbagai resep masakan perlu dilakukan untuk menghindari kebosanan terhadap menu yang sama.

Agar dapat digunakan secara lebih praktis, maka jenis peptida penurun tekanan darah yang terdapat pada tempe dapat diisolasi dan dimurnikan. Selanjutnya, komponen aktif yang diperoleh dapat diolah dalam bentuk tablet atau kapsul yang dapat digunakan sebagai food supplement. Untuk itu diperlukan teknologi dan dana investasi yang cukup besar. Apakah ada industri yang berminat?



Sumber :
http://www.kompas.com, dalam :
http://web.ipb.ac.id/~tpg/de/pubde_ntrtnhlth_tempe3.php

Tidak ada komentar:

Posting Komentar