Selasa, 05 Januari 2010

Tempe : Jangan Menganggap Sepele yang Namanya Tempe.

Jangan menganggap sepele yang namanya tempe.

Bahan makanan, lauk pokok bagi sebagian masyarakat Jawa ini, yang dianggap kelas bawah bisa ke Istana Negara, Jakarta. Dalam artian sebenarnya maupun kiasan. Dalam artian sebenarnya, karena Presiden Yudhoyono termasuk penggemar "berat" tempe-seperti juga presiden sebelumnya, Soekarno maupun Soeharto.

Dalam arti kiasan karena sekitar 5000 pengusaha tempe melakukan demo untuk penurunan harga kedelai-yang menjadi bahan baku tempe. Harga kedelai naik dua kali lipat, kalau sebelumnya harganya Rp. 3. 450 per kilo, menjadi Rp. 7.500. Para juragan tempe yang jumlahnya di negeri ini mencapai jutaan, tak bisa berproduksi lagi.

Kalau ingar bingar dan koor menjeritkan tempe terdengar kompak dan semarak, bisa dimengeri banget. Lebih dari makanan atau lauk pauk lain, tempe-dan saudara kembarnya tahu, adalah lauk utama dan terutama bagi sebagian besar masyarakat kita.

Baik bagi mereka yang dibesarkan dengan tempe-karena susah membeli daging, dan ini menjadi kebiasaan meskipun kemudian bisa melahap beef, steak, salmon, atau mereka yang bernostalgia dengan berbagai variannya.

Ada berbagai jenis tempe yang manandai betapa luas pengaruhnya di masyarakat. Ada tempe benguk, yang dibuat dari kara benguk, Mucuna utilis, Mucuna pruriens, bukan kedelai. Ada juga tempe bongkrek, yang dibuat dari ampas kelapa.

Bahkan ketika dikabarkan sistem fermentasinya menimbulkan racun yang mematikan, pembelanya masih banyak. Ada tempe gembus, dari bahan ampas tahu. Nilai gizinya sedikit berkurang, tapi lebih murah, dan memang gembus alias lunak, benar-benar mak-nyus di lidah.

Ada tempe gude, karena bahannya adalah kacang koro gude, Dolichos Lablab. Cara memasakanya pun bisa digoreng dengan minyak, direbus, dibacem- perpaduan keduanya, bisa dihidangkan polos atau dicampurkan dalam berbagai sayuran.

Rasa-rasanya tak berlebihan untuk mengatakan bahwa nenek moyang kita dalam menciptakan tempe adalah tokoh yang jenius. Betapa indah, mudah disajikan-bahan baku kedelai adalah jenis tanaman yang bisa tumbuh alami di daerah tropis, murah harganya, dan gizi melimpah.

Dalam tempe terkandung protein yang kaya akan senyawa gizi untuk kesehatan dan kebugaran. Antara lain lesitin, penghambat penyakit jantung koroner, serta antioksidan, antibiotik, antivirus, dan zat pengatur tumbuh.

Dengan kata lain memenuhi persayarakatan kesehatan-juga keenakan bagi lidah, komplet-plet. Bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pernah memuji tempe dan menghargai kebiasaan makan tempe bagi masyarakat Indonesia.

Beberapa peneliti di Amerika Serikat dan Belanda-dari sekian banyak yang meneliti tempe, mempunyai kesimpulan yang kurang lebih sama.

Masih banyak yang disertakan untuk memperkuat nilai lebih dari tempe. Yang kesemuanya menambah pujian bagi produk yang sangat merakyat ini. Masalahnya kemudian yang membuat membelalak adalah: kenapalah bahan makanan yang sedemikian mengakar dan membumi, yang bahannya juga tumbuh di sini, dan cara memproduksinya tak memerlukan modal besar dan karenanya menyertakan para juragan tempe dari warga masyarakat, bisa sekarat?

Dalam artian pedih, sesambat rakyat bisa lebih menyayat: kalau kita terima makan tempe-dan bukan daging, sekarang dipersulit, apa lagi yang tersisa?

Ini yang perlu mendapat perhatian besar.

Karena tempe bukan sekadar makanan biasa yang mudah tergantikan, melainkan sudah menjadi simbol, menjadi penanda keberadaan masyarakat secara keseluruhannya. Masyarakat yang pasti merasa disepelekan, merasa makin tidak diurusi, kala tempe menghilang dari peredaran.

Barang kali sebutan sebagai bangsa tempe-tadinya sebutan yang bernada negatif, bukan sebutan berlebihan. Bukan karena pertanda bangsa yang lembek, melainkan karena memang sebagian hidup bersama tempe.

Makanya, jangan anggap sepele.

Sumber :
http://jurnalnasional.com/show/kolom?page=3&rubrik=Simpul&berita=31463&pagecomment=1
17 Januari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar