Senin, 04 Januari 2010

Tempe, dari Jawa untuk Dunia

Sudah banyak tulisan mengenai khasiat tempe, makanan favorit saya ini. Pak Vino Warsono juga sudah pernah menulis tentang khasiat tempe di forum kompasiana ini (lihat http://kesehatan.kompasiana.com/2009/10/26/jangan-meremehkan-otak-tempe/). Cuma tampaknya masih jarang yang menulis tentang sejarah tempe ini. Setelah membuka-buka arsip yang saya miliki, saya menemukan tulisan Dr Onghokham di Kompas, 1 Januari 2000 yang berjudul “Tempe, Sumbangan Jawa Untuk Dunia”. Banyak yang menarik dalam tulisan tersebut yang mau saya bagikan kepada Anda.

Kacang kedelai sudah dikenal di Cina sejak 5.000 tahun yang lalu. Produk turunannya, yaitu tahu kemungkinan juga sudah dikenal di Cina ratusan bahkan mungkin ribuan tahun yang lalu. Menurut Onghokham, tahu telah menyelamatkan kesehatan rakyat Cina, demikian pula tempe telah menyelamatkan rakyat Jawa. Karakteristik Cina yang padat penduduknya hampir mirip dengan Jawa. Di Cina maupun Jawa, tidak ada peternakan sapi atau domba yang luas sehingga seni masaknya berkisar pada hewan peliharaan rumah seperti babi, ayam dan bebek. Di Jawa, pekarangan sangat mewarnai apa yang dihasilkan oleh dapurnya karena itulah kambing, ayam, sayuran, pohon kelapa menjadi bagian terbesar dari seni masak Jawa.

Menurut sejarah, Jawa baru menjadi padat penduduknya pada abad ke 19. Pada tahun 1814, jumlah penduduk Jawa adalah 4,5 juta jiwa, sangat meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Karena itulah kebutuhan bahan makanan hewani menjadi jauh meningkat pada tahun 1810-an.

Sementara itu, orang Eropa baru mengenal kacang kedelai dalam abad ke 19, jadi baru 100 atau 200 tahun yang lalu. Kemungkinan besar penyebaran kedelai secara luas di Jawa adalah dimulai pada abad ke 19 pula. Mengenai tahu, makanan ini dibawa oleh orang Cina ke Jawa yang mungkin sudah ada sejak abad ke 17. Sedangkan tempe adalah makanan asli Jawa yang berkembang di abad ke 19 karena kenaikan jumlah penduduk yang amat tinggi di awal abad ke 19. Di sisi lain meluasnya perkebunan kolonial membuat wilayah hutan menjadi ciut. Ditambah lagi dengan model tanam paksa dengan petani sebagai kuli membuat kesempatan untuk berburu, beternak maupun memancing menjadi jauh berkurang, sehingga makanan orang Jawa menjadi tanpa daging. Kondisi inilah yang memaksa munculnya tempe.

Penemuan tempe ini pasti berkaitan erat dengan produksi tahu di Jawa, hanya penemuannya diperoleh secara kebetulan walau kemudian mendapat respon luas. Catatan tertua tentang tempe adalah Encyclopaedia van Nederlandsch Indie di tahun 1922 yang mencatat tempe sebagai “kue yang terbuat dari kacang kedelai melalui proses peragian dan merupakan makanan kerakyatan (volk’s voedsel)”.

Beberapa teori dikemukakan Dr Onghokham untuk mendukung teori tempe berasal dari Jawa:

Walau sudah tersebar di seluruh Nusantara, menu tempe masih terbatas pada orang Jawa atau kalangan transmigran dari Jawa.

Menu tempe hanya ada di dalam menu Jawa. Pada dahulu kala, menu tempe belum ditemukan di dalam dapur Melayu, Minang, Batak, Bugis maupun Manado.

Selera Jawalah yang cocok dengan tempe. Makanan Jawa pada umumnya dimakan dalam kondisi suhu ruangan yang bagi orang Barat dan Cina pasti akan dikatakan dingin. Karena itulah makanan daging atau tahu harus dimakan saat hangat atau panas. Berbeda dengan tempe yang enak dimakan saat dingin atau panas.

Dr Onghokham juga menulis teori kenapa tempe waktu itu belum dikenal oleh Cina, Korea maupun Jepang walaupun mereka sudah mengenal kacang kedelai dan tahu. Penyebabnya semata-mata adalah perbedaan selera dan budaya. Masakan Cina, Jepang atau Korea terbatas pada tahu sebab tahu dalam berbagai jenis dan mutunya dapat menjadi makanan dengan saus. Saus adalah aspek penting dalam makanan Cina maupun Perancis. Dengan saus, tahu bisa diangkat menjadi masakan yang lezat dan mewah.

Berbeda dengan tempe sebagai kue yang sudah kompak dan dominan rasa kedelainya, sehingga penggunaan saus tidak akan menambah rasa maupun menjadikan tempe lebih mewah atau lebih lezat.

Sayangnya tempe tidak begitu berkembang di negara asalnya, Indonesia. Di Indonesia tempe masih terbatas pada generasi I (seperti tempe saat ini yang kita makan) dan generasi II baru sebatas penelitian, sementara Jepang sudah mengembangkannya sebagai tempe generasi II (dalam bentuk kacang goreng tepung, karinto, abon, miso tempe/tauco). Jerman malah sudah mengembangkan tempe generasi III dimana tempe dijadikan isolasi Superoksida Desmutase untuk mencegah penuaan dini dan penyakit degeneratif lainnya.

Di Indonesia, negeri asal tempe, tempe sampai sekarang belum berkembang luas menjadi alternatif menu di hotel berbintang atau maskapai penerbangan nasional. Sementara menu tempe sudah disajikan di Singapore Airlines dan KLM, juga sudah menjadi trend makanan vegetarian di kalangan selebritas, kaum muda dan kampus di Amerika Serikat, Jepang dan Eropa.

Jepang sendiri mulai bersemangat menggarap tempe saat di tahun 1996 terjadi wabah diare akibat E Coli O-175 yang memakan korban jiwa anak-anak. Sejak itulah mereka menggarap tempe sebagai tempe bakar, tempe tempura, tempe miso, tempe steak, tempe burger dan tempe kroket.

Apa kabar Indonesia ?? Sebagai catatan, sampai saat ini kita mengimpor kedelai 3.453.689,91 ton per tahunnya dengan nilai impor sebesar Rp. 5,95 triliun per tahunnya. Jadi ?!


Sumber pustaka:

Kompas 1 Januari 2000. Tempe, Sumbangan Jawa Untuk Dunia. Oleh Dr. Onghokham.

Kompas 1 Januari 2000. Mukjizat Tempe Untuk Kesejahteraan. Oleh Agnes Aristiarini.
Majalah Gatra, edisi 9 September 2009.



Sumber :

Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan

http://sosbud.kompasiana.com/2009/12/23/serial-otak-indonesia-6-tempe-dari-jawa-untuk-dunia/

23 Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar